God, DNA and us


Gara-gara baca bukunya Kazuo Murakami tentang konsep DNA -yang udah aku review di sini- aku sempet terlibat diskusi seru ama Agus, my hubby.
Ini rangkuman hasil diskusi tersebut, yang beberapa kali dalam proses diskusi sempet diselingi Kayla yang ribut minta ditemenin ngegambar ...
  • Dalam khazanah ilmu keagamaan, ada dua aliran pemikiran yang memandang mengenai takdir (destiny).
Yang satu memandang bahwa hidup seseorang mutlak sudah ditentukan oleh Tuhan. Sehingga orang yang malas bisa mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak ingin malas, tapi memang sudah ditakdirkan malas!
Aliran satunya, memandang bahwa manusialah yang secara mutlak menentukan hidupnya sendiri, mau jadi gagal atau berhasil, dialah sendiri yang menentukan garis hidupnya.
Nah, penelitian DNA Dr Murakami memberikan perspektif baru yang menarik.
Yaitu tiap orang dianugerahi Tuhan bekal yang kurang lebih sama: semua potensi luar biasa yang terkodekan dalam DNA-nya.
Yang penting adalah usaha tiap-tiap manusia untuk memberikan yang terbaik dalam hidupnya. Jadi tugas manusia dalam hidup ini adalah berusaha (menjadi bapak yang baik, istri yang penyayang, anak yang taat, pemimpin yang amanah, meraih ilmu yang tinggi dsb.).
Hasil akhir ada di tangan Allah Swt.
Usaha itulah yang bila diniati dengan benar akan menjadi dan berupa ibadah.
Ini rupanya yang diwahyukan dalam Al-Quran: “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS 51:56).
  • Kehidupan modern telah mendorong orang untuk mempunyai keinginan yang semakin tidak terbatas. Hasilnya adalah ditengah pencapaian materi yang seringkali berlimpah (berkat kemudahan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan dsb.), orang-orang justru hidup lebih menderita.

Hasil riset DNA mengingatkan kita bahwa pikiran yang positif adalah awal menjalani hidup sehari-hari yang utama. Karena mengejar target-target hidup yang kita ciptakan sendiri (cepat naik pangkat, terobosan keilmuan, gaji lebih tinggi, rumah lebih besar dst), kita lupa bersyukur pada semua anugerah Tuhan yang sudah dan sedang kita nikmati sehari-hari –taken for granted. Sehingga bila things do not work as we expected, kita menjadi marah, kecewa dan putus asa.

Rasanya nggak special kalo hal ini dikemukakan dalam buku-buku agama. Tapi terasa mengagumkan dan menyentuh, bahwa seorang ilmuwan dalam didikan Barat (doktor dalam bidang bio-kimia/genetika) dengan dunianya yang serba materialistik, over-achieving dan gegap gempita, mempunyai kesimpulan hasil riset dalam bukunya bahwa rasa grateful (bersyukur) atau menerima (ridha) atas apa saja dan berapa pun yang dikaruniakan dan ditentukan Tuhan adalah bekal kebahagiaan hidup yang sebenarnya.
  • Di manakah Tuhan?
    Ini adalah pertanyaan setua umur peradaban manusia itu sendiri.
    Kita diajari bahwa Tuhan itu dekat. Sangat dekat.
OK, close but how close?
Sebagian menjawab Tuhan meliputi kita semua.
Bagaimana pandangan dunia ilmiah khususnya kedokteran?
Dr. Murakami memaparkan dalam bukunya bagaimana jejak Tuhan ada dalam sel-sel kita, lebih jauh lagi ada dalam untaian double-helix DNA kita.

Jadi rasanya tepat sekali jika dalam kaitan ini Tuhan digambarkan lebih dekat dibanding dengan urat leher kita sendiri ...

No comments: