Transformasi sepanjang masa

Jadi ya, ketika kecil itu badan saya sangat cungkring. Very very skinny. Ditambah kulit yang hitam dan sakit-sakitan, maka lengkap sudah penderitaan saya sebagai the ugly duckling dalam keluarga. Dan ternyata kecungkringan itu berlangsung sampai saya dewasa. Dalam artian seberapapun banyaknya kalori yang masuk ke tubuh saya, tapi badan saya nggak akan (pernah) bisa menggendut. Bahkan perut pun susah buncitnya. 

Sebagai contoh: jaman kuliah saya sanggup menghabiskan sepuluh sampai dua belas bungkus nasi kucing dalam satu kali duduk. Tapi ya gitu, blas nggak gendut. Entahlah kemana itu larinya si nasi kucing. Kalau temen saya bilang,"Larinya ke hidung elu, Vin!" Bagi yang belum tahu: hidung saya memang besar. Selain jempol kaki dan tangan.

Lalu senang kah saya dengan fenomena nggak bisa gendut itu?
Terus terang enggak.

Karena pada masa-masa itu saya kepengeeeeeen banget (minimal) pipi saya keliatan cempluk dan badan saya lebih berisi. Ketika saya curhat ke beberapa teman, sebagian dari mereka menasihati,"Makan sedikit-sedikit, tapi sering. Ntar kan cepet gemuk." Saya nurut. Tapi ternyata teori tersebut nggak cocok buat saya. Karena pipi saya tetap cekung. Badan pun masih selidi aja.

Maka setelah mencoba berbagai cara untuk gemuk tapi jarang sukses, akhirnya saya pasrah. 'Ya udahlah kalo memang nggak bisa gendut, yang penting sehat', pikir saya waktu itu.  Karena semakin beranjak dewasa ternyata saya memang jadi nggak sakit-sakitan lagi. Udah jarang mengi (sesak napas karena asthma, in case ada yang nggak mengenal istilah Jawa tersebut), tubuh semakin fit dan entah gimana kulit saya makin cerah. Ehk. Soal kulit ini penting untuk di-mention karena saya sendiri nggak menyangka bahwa warna kulit ternyata bisa berubah yang akhirnya memang mampu meningkatkan level pede saya. Biar aja cungkring, yang penting putih. Begitu mungkin yang ada di pikiran saya waktu itu. Halagh.

Dan soal asthma yang berangsur membaik, hal tersebut nggak lepas dari peran Mama yang menyuruh saya les berenang. Itu terjadi ketika saya masih di SD (sekitar umur 7 tahun). Saya les renang sama (alm) Oom Kwee Chuan, seorang pelatih yang (sebenernya) hatinya sangat baik tapi sumpeeee gualaknya luar biasa kalau pas session di kolam. Tapi herannya, kami -ratusan murid-murid renangnya- nurut dan sayang sama beliau. Bukan karena takut tapi lebih ke merasa segan.

Sependek yang saya tahu, di kota sekecil Purwokerto saat itu (tahun 80-an) beliau adalah satu-satunya pelatih renang yang cukup handal dan terpercaya. Jadi meskipun galak tapi tetep aja muridnya bejibun. Anyway, dalam seminggu saya les renang tiga kali. Dan setiap les, kami (saya dan teman-teman les yang lain plus oom Kwee Chuan, tentunya) harus bermobil ke Purbalingga (sekitar 1 jam dari Purwokerto) untuk menuju Bojongsari, kolam renang yang dipakai sebagai tempat les. 

Tiga fakta yang perlu diketahui soal les renang bersama oom Kwee Chuan: 
1Bojongsari sekarang sudah berubah menjadi Owabong, water park yang cukup besar dengan fasilitas lumayan komplit. Terus terang, menurut saya itu sebuah prestasi yang luar biasa bagi pemerintah Purbalingga, loh. Yang jelas, layak untuk dikunjungi. *sayangnya website Owabong kurang representatif*
Mobil yang kami pakai adalah mobil pribadi Oom Kwee Chuan, semacam pick up yang bagian belakangnya sudah dimodifikasi oleh si Oom dengan diberi semacam terpal --kayak yang biasa dipakai di truk-truk tentara itu-- dan ditambah bangku panjang yang dipasang mengelilingi tiga sisi bak (bayangin suasana di angkot gitu, deh). Ou, tapi please jangan nanya soal seat belt dan segala derivasinya, ya. Karena memang nggak ada. Lagian itu tahun 80-an, pan. Di Purwokerto, pulak.

Apa itu seat belt?
Apa itu duduk manis di dalam mobil?
Meneketehe.

Karena yang ada di pikiran kami --yang notabene saat itu masih sangat kanak-kanak saat (variasi umur murid oom Kwee Chuan: 7-15thn)-- hanyalah bahwa kita akan main air dan bersenang-senang. Despite of the facts bahwa nantinya saat di kolam kami bakal dibentak-bentak dan digenjleng habis-habisan soal teknik renang oleh si Oom. 
Sering kali sehabis berenang saya langsung meriang. Yang batuk lah. Yang panas lah. Dan segala derivasinya. Tentu saja sebagai ibu, Mama saya kalang kabut. "Ooooooom, iki piyeeee??? Anakku batuk lagiiiii. Semalem anget. Tadi pagi muntah-muntah. Besok prei dulu ya lesnya," telpon Mama ke Oom Kwee Chuan setiap kali saya meriang.

Tapi jawaban si Oom pun selalu konsisten,"Nggak pa pa, Bu! Besok Vina tetep direnangin lagi aja kayak biasa. Nanti lama-lama dia semakin tahan." Dan ternyata bener, dooong! Setelah setahunan saya les renang, saya jadi nggak engkrik-engkriken lagi. Sesak napas ketika malam semakin berkurang, meriang dan batuk-batuk pun jarang. Fit banget deh, pokoknya. Maka, big thanks untuk segala ilmu, kedisplinan, bentakan-bentakan sekaligus perhatiannya ya, Oom. Karena bagi saya pribadi, menjadi murid les renang oom Kwee Chuan adalah titik balik dalam hidup saya ketika akhirnya saya tidak lagi menjadi seorang anak yang ringkih.

*kabar terakhir yang saya dengar: beliau meninggal karena kecelakaan motor di daerah Sokaraja pada tahun 90an*

Ah, may God bless his soul. Amen.

Er, btw sampai dimana kita tadi? Ah, sampai soal saya susah gemuk meskipun sudah makan nasi kucing dengan porsi untuk satu RW, ya. Jadi intinya: saya itu makannya banyak (pake banget), tapi susah gendut.

Tapi kemudian ada satu episode dalam kehidupan masa remaja saya dimana tiba-tiba badan saya melar nggak karuan. Entah karena faktor hormon atau simply metabolisme saya yang mulai berubah, tanpa disadari saya pun menggendut. Kalau nggak salah, bobot saya mencapai 59 kg (dari yang semula 46 kg). Itu terjadi jaman saya masih kuliah tingkat tiga deh, kayaknya.

Lalu kemudian segalanya berubah total setelah saya menikah. Iya, bener banget. Problem utama mereka yang sudah menikah adalah badan menggelembung, perut membuncit (baik laki maupun perempuan) dan segala derivasinya. Saya yang notabene susah menggendut pun ternyata mengalaminya. Meskipun ini tidak lepas dari faktor bahwa setelah menikah saya tinggal di Amerika dimana society-nya memang rata-rata mengalami obesitas, ya. Jadi perlahan tapi pasti berat badan saya merambat naik. Tanpa saya sadari. Ironis, memang. Ketika jaman kecil saya berusaha mati-matian menggemukan diri tapi gagal terus, eh giliran disuruh pindah ke Boston tiba-tiba aja langsung menggelembung mirip balon. 

Lantas, senang kah?
Er, antara ya dan tidak.

Di satu sisi saya girang karena akhirnya saya bisa gendut. Tapi di sisi lain saya juga nggak terlalu bahagia ketika melihat penampakan saya di cermin. Karena gendutnya bukan yang bohay gitu melainkan lebih menyerupai karung beras. Nggak ada curve-nya. Nggak ada sexynya sama sekali. Bener-bener bles gendut aja gitu.

sigh ...

-bersambung-

No comments: