Makanya aku sering bingung saat ditanya, “Kamu asli mana sih, Vin?” oleh teman-teman, biasanya yang baru kenal. Saat aku jawab bahwa aku asli Jawa kadang-kadang yang nanya itu malah nggak percaya. Katanya, “Masa, sih?”. Dan masih disambung lagi, “Kok kayak Arab?”. Lah, karena memang ada sedikit encrutan Arab-nya. Jadi what do you expect, my friends?
Atau saat aku ketawa dan mataku jadi ilang semua alias terlihat sipit, temen-temen SD-ku dulu akan mengolok-olok, “Ih, matanya jadi sipit! Kayak Cina!”. Well, I am.
Dan kedurhakaanku terhadap budaya Jawa masih diperparah lagi dengan kemampuan berbahasa krama Inggil-ku (bahasa Jawa halus yang dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua) yang acak adul yang makin bikin orang nggak yakin bahwa aku adalah keturunan Jawa.
Dan lebih indahnya lagi, meskipun akhirnya aku menikah dengan seorang lelaki Jawa tulen (baik diliat dari laki-lakinya maupun keturunan Jawa-nya) ternyata suamiku ini bukan tipe suami Jawa yang menuntut agar segala kebutuhan A-Znya harus disediakan oleh sang istri. OK, mungkin tidak semua suami Jawa bersikap dominan seperti itu. Tapi believe it or not, dalam budaya Jawa memang ada semacam aturan tidak tertulis bahwa yang namanya istri itu ya harus mengabdi 10000% ke suami. Dan suami-suami yang pada dasarnya manja akhirnya memanfaatkan budaya ini untuk mengkotak-kotakkan jenis pekerjaan istri dan suami.
Alhamdulillah selama ini m’Agus nggak pernah membeda-bedakan ‘kerjaan istri’ dan ‘kerjaan suami’ dalam kehidupan rumah tangga kami. Misalnya, saat dia sempet bikin strawberry smoothies, ya dia nggak akan ragu-ragu untuk menyiapkan segala sesuatunya sendiri –mulai dari motong buah sampe nyuci blendernya- tanpa harus meminta bantuanku. Malah kadang-kadang dia dengan ikhlas bikinin buat aku sekalian. Mmh, yum yum …
Jadi kesimpulannya adalah sampai detik ini aku masih tetap menjadi seorang Jawa durhaka, ternyata!
No comments:
Post a Comment